blog kuu......^^

25 Jan 2011

4 penyebab anak malas belajar


Berbagai upaya sudah dilakukan agar anak semangat belajar. Tapi, hasilnya justru sebaliknya. Seringkali penyebabnya muncul dari orangtua.

Memahami anak sebagai individu yang sedang menjalani tahapan-tahapan dalam masa pertumbuhannya, diperlukan kesabaran ekstra. Demikian pula ketika mendapati anak yang telah memasuki usia sekolah begitu malas belajar. Mengandalkan guru untuk menyelesaikan masalah? Tentu tak bisa begitu.
Apalagi bila kita menyadari bahwa anak sesungguhnya memulai pendidikannya dari rumah. Sehingga, peran orangtua untuk membantu secara langsung kesulitan yang dialami anak merupakan hal yang sangat penting. Mencari penyebabnya adalah langkah awal untuk menerapkan solusi yang tepat.
Robert D. Carpenter MD adalah seorang peneliti yang pernah mengadakan pengamatan terhadap perkembangan belajar murid sekolah dasar di California, Amerika Serikat. Dalam pengamatannya ditemukan adanya penyebab mengapa anak-anak kerap mengalami masalah dalam belajar yang cenderung membuat mereka jadi malas. Berikut ini empat penyebab yang kerap terjadi dan menyebabkan anak malas belajar.
1. Komunikasi tidak efektif
Ingat, target kita berkomunikasi adalah memastikan bahwa ‘pesan’ yang ingin kita sampaikan kepada penerima pesan (anak) diterima dengan benar. Tentu orangtua ingin agar anak mengerti, menyukai dan melakukan apa-apa yang dipikirkan orangtua. Komunikasi yang efektif juga bisa mengungkapkan kehangatan dan kasih sayang orangtua, misalnya, “Ayah bangga sekali, kamu sudah berusaha keras belajar di semester ini.”
Coba ingat-ingat bagaimana pola komunikasi yang kita bangun selama ini. Sudahkah anak-anak menangkap pesan yang kita sampaikan sesuai dengan yang kita maksud?
Seringkali orangtua lupa menyampaikan ‘isi’ dari pesannya, tapi lebih banyak merembet pada hal-hal yang sebenarnya di luar maksud utamanya. Misal, nilai ulangan harian anak di bawah rata-rata teman sekelasnya. Tanpa bertanya terlebih dulu kepada anak kenapa nilainya jelek, Ibu langsung komentar, “Itulah akibatnya kalau kamu nggak nurut Ibu. Main melulu sih. Ibu tuh dulu waktu sekolah nggak pernah dapat nilai 6. Kamu kok nilainya jelek begini. Gimana sih?” Apa inti pesan yang disampaikan Ibu? Anak salah karena nilainya jelek dan semakin salah karena Ibu selalu membandingkan anak dengan keadaan Ibunya sewaktu sekolah. Akibatnya, anak akan berpendapat, “Ah, nggak ada gunanya bilang ke Ibu kalau nilai jelek. Nanti pasti dimarahin.”
Padahal, mengetahui nilai anak yang di bawah rata-rata buat orangtua sangat penting untuk mengevaluasi penyebabnya. “Wah, nilai anak saya untuk mata pelajaran matematika kenapa selalu jelek ya? Apa yang perlu dibantu?” Sederet pertanyaan itu bisa terjawab bila kita berkomunikasi secara efektif, bukan menyalah-nyalahkan anak. Bila penyebab bisa segera diketahui, maka orangtua bisa mencari solusinya dan melakukan perbaikan.
Komunikasi yang tidak efektif yang berjalan selama bertahun-tahun, pastinya akan berdampak negatif pada pembentukan karakter anak. Padahal, salah satu fungsi komunikasi adalah untuk mengenal diri sendiri dan orang lain. Bisa dipastikan pola seperti itu akan membuat anak bingung dalam mengenali dirinya sendiri dan orangtuanya. ‘Apa sih sebenarnya maunya Ayah/Ibu?’ Kebingungan ini mengakibatkan dalam diri anak tidak tumbuh motivasi kuat untuk berprestasi, toh mereka tak tahu apa gunanya mereka belajar.
2. Tak terbantahkan
‘Pokoknya kamu harus ranking satu. Dulu, ayah sekolah jalan kaki, tapi selalu ranking satu. Kenapa kamu nggak bisa?’ Menekankan dengan kalimat, ‘pokoknya’, ‘seharusnya’, dan kata sejenis lainnya menunjukkan tidak adanya celah untuk pilihan lain.
Orangtua yang tak terbantahkan membuat anak sulit mengemukakan pendapatnya. Bahkan, sulit mengetahui potensi dirinya sendiri, apalagi mengoptimalkan potensinya. Kecenderungan tak terbantahkan ini kalau berlanjut terus bisa menjurus pada upaya memaksakan kehendak orangtua pada anak. Misalnya, “Nanti kamu harus jadi dokter.” Kalaupun akhirnya anak mengikuti kehendak orangtuanya kuliah di fakultas kedokteran, ia akan menjalaninya dengan setengah hati. Bisa jadi, hanya setahun dijalani, selanjutnya keluar karena bertentangan dengan keinginannya. Tentu kita tak ingin ini terjadi bukan?
3. Target tidak pas
Target yang tidak pas, bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi dari kemampuannya. Jangan sampai memaksakan begitu banyak kegiatan pada seorang anak sehingga mereka jadi jenuh dan terlalu lelah. Akibat overaktivitas, banyak anak yang kemudian mulai meninggalkan belajar sebagai kegiatan yang seharusnya paling utama.
Di sinilah peranan orangtua sangat penting, jangan sampai terlalu memaksa anak dengan harapan agar mereka dapat menuai prestasi sebanyak-banyaknya. Mereka didaftarkan pada berbagai macam kursus atau les privat tanpa mengetahui bahwa batas IQ seorang anak tidak memungkinkannya menerima berbagai macam kegiatan yang disodorkan oleh orangtua.
Namun, sebaliknya bagi anak yang memiliki IQ tinggi, juga perlu penanganan khusus, karena mereka tidak cukup dengan target regular untuk anak lainnya. Mereka membutuhkan tantangan lebih supaya potensinya teroptimalkan. Untuk mengetahui potensi ini, orangtua perlu bantuan psikolog.
4. Aturan dan hukuman yang tidak mendidik
Terlalu ketat dalam rutinitas harian bisa menyebabkan akhirnya anak malas belajar. Namun, sebaliknya tanpa membuat rutinitas harian anak tidak terbiasa memiliki jadwal belajar yang harus dipatuhinya. Jalan tengahnya, rutinitas tidak bisa ditetapkan secara sepihak oleh orangtua, namun dibangun bersama-sama.
Membuat aturan juga harus diikuti dengan konsekuensi. Jadi, anak dapat mengerti apa hubungannya antara kepatuhan menjalani aturan dengan konsekuensinya, bukan sekadar hukuman yang tidak mendidik, seperti hukuman cubitan bila dapat nilai jelek
Bagi anak usia SD ke atas, orangtua perlu mendiskusikannya dengan anak. Aturan tersebut ditandatangani dan dipasang di dekat meja belajar. Misal, 1) Belajar sehabis shalat Maghrib sampai Isya; 2) Boleh nonton Avatar pada minggu pagi; 3) Main PS paling lama 2 jam di hari libur; 4) dan seterusnya.
Jangan bosan juga untuk meng-up date kesepakatan dan mengingatkan kalau ada yang melanggar. Ingatkan juga akan konsekwensinya, misalnya “Belajar yuk! Kemarin kita sepakat kan kalau nggak belajar, gimana hayo?”
Biarkan anak menjawab konsekwensinya. Jika aturan itu sudah dibuat bersama, pasti anak ingat akan konsekwensinya. Harapannya, kesadaran untuk belajar akan tumbuh dari dalam diri anak, bukan dipaksakan orangtua. Tidak ada lagi hukuman yang tidak mendidik, karena hukuman akan membuat anak berpikir “Ugh, belajar sangat tidak menyenangkan!”
Mewaspadai empat hal tersebut penting untuk mencegah kemalasan anak semakin parah. Yuk, bantu anak-anak kita agar rajin dan senang belajar.

hal yang perlu dipanuti dari korea

sejauh menyangkut pembangunan ekonomi, Korea punya banyak kesamaan dengan Indonesia. Secara tradisional, ekonomi Indonesia dan Korea sama-sama bertumpu pada pertanian; dan baru sejak akhir 1960-an dan 1970-an sama-sama berusaha melakukan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada industri. Tetapi jelas, Korea Selatan sangat berhasil dalam pembangunan ekonomi dan industrinya, meninggalkan Indonesia jauh di belakang. Berbagai produk Korea dalam dua dasawarsa terakhir, khususnya elektronik dan kendaraan bermotor semakin mengglobal. Keberhasilan ini membuat Korea mendapat julukan 'the miracle on the Hangang river',keajaiban di Hangang, sungai terbesar di 'Negeri Ginseng' ini.

Pada tahap awal pengembangan industri, sains, dan teknologi, Korea memang lebih banyak mengambil alih dari negara-negara lebih maju; tapi sejak akhir dasawarsa 1980-an Korea juga terus bergerak menjadi 'inventors', penemu, bukan sekadar peniru dengan meningkatkan research and development (R&D) atau litbang. Bahkan, Korea kini bertekad tidak hanya menjadi pusat industri dan teknologi terkemuka di dunia, tetapi juga tempat 'industri otak' untuk menghasilkan temuan-temuan baru dalam berbagai bidang sains dan teknologi. Sampai akhir 2002 saja, Korea telah membelanjakan dana sekitar 15,1 miliar dolar AS untuk kepentingan litbang sains dan teknologi.

Korea dan Indonesia pernah sama-sama mengalami krisis moneter dan ekonomi yang melanda banyak negara Asia dan Amerika Latin sejak 1997. Tetapi, jika Indonesia sampai sekarang ini masih bergulat dengan krisis ekonomi dengan berbagai dampak sosialnya, Korea sudah sepenuhnya mengalami economic recovery. Ekonomi Korea kembali booming dengan mengembangkan struktur ekonomi yang sesuai dengan advanced economy.

Banyak faktor penting yang menyebabkan Korea bisa cepat pulih dari krisis ekonomi. Pertama adalah kemauan politik yang kuat dan konsisten untuk menghapuskan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dalam berbagai level pemerintahan dan masyarakat. Banyak orang Korea menilai, salah satu pencapaian utama pemerintahan Presiden Roh Moo-hyun yang berkuasa sejak 25 Februari, 2003 adalah kesuksesannya dalam gerakan antikorupsi dan penguatan good governance.

Kedua adalah nasionalisme ekonomi yang bernyala-nyala dalam masyarakat Korea. Dominasi produk-produk Korea, khususnya elektronik dan kendaraan bermotor, terlihat jelas di pasar. Di jalan raya, hampir seluruh kendaraan yang lalu lalang adalah bikinan Korea sendiri; mobil impor hanya satu dua saja. Dalam pekan-pekan terakhir ini, bahkan demonstrasi marak di Korea memprotes pembukaan pasar Korea bagi beras impor, yang bisa dipastikan mengancam beras dalam negeri.

Ketiga adalah 'etos kerja' dan disiplin sosial kuat yang dimiliki masyarakat Korea. Orang-orang Korea terkenal sebagai pekerja keras dan tekun. Ini terlihat bukan hanya di Korea, tetapi juga di kalangan para perantau Korea, misalnya di Amerika Serikat, yang bergerak misalnya dalam penjualan greeneries, 'hijau-hijauan', yakni sayuran dan buah-buahan.

Kunci utama dari semua itu adalah pendidikan. Lagi-lagi, sama dengan Indonesia, Korea baru dapat menyelenggarakan pendidikan yang lebih universal setelah kemerdekaan pada 1948 usai Perang Dunia II. Tetapi, jelas Pemerintah Korea memberikan perhatian sangat besar pada pendidikan; sejak 1953, misalnya, pemerintah sudah memberlakukan program wajib pendidikan dasar enam tahun. Wajib belajar sembilan tahun --ditambah tiga tahun pendidikan menengah pertama-- baru diperkenalkan pada 2002.

Pendidikan tingkat universitas hanya mungkin jika siswa sekolah menengah atas lulus ujian akhir. Karena itu, masa di SMA merupakan masa yang sangat menentukan bagi masa depan remaja Korea. Gagal ujian akhir SMA berarti gagal masuk universitas; dan gagal masuk universitas berarti masa depan yang kurang cemerlang.

Universitas-universitas Korea umumnya memiliki berbagai fasilitas jauh lebih baik dibanding perguruan tinggi (PT) Indonesia. Karena itu, tidak heran kalau mereka dapat menjadi PT berkualitas tinggi. Sekali lagi, kalau Indonesia mau belajar dari Korea, sudah sepatutnya memberikan perhatian lebih serius pada pendidikan.